Tawuran merupakan salah satu
penyimpangan sosial yang dilakukan oleh Remaja
Sebab Terjadinya Tawuran
Tawuran pelajar
merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial kolektif remaja yang
marak terjadi di daerah perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas.
Disinilah uniknya, sampai – sampai kelompok kerja ( pokja ) penanggulangan
masalah tawuran ( 1999 ) tidak mampu memberi jawaban yang jelas mengenai apa
penyebab tawuran. Mungkin dianggap telah menjadi tradisi. Kadang juga hanya
sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk kekuatan saja. Tak jarang pula
melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api ( bom molotov ) dan
menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi – aksi yang dilakukan para pelajar
dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu, tawuran juga melahirkan dendam
berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya dan sering berlanjut
pada tahun – tahun berikutnya. Kiranya, tidaklah keliru bila kita berasumsi
bahwa maraknya aksi tawuran pelajar merupakan sebuah gejala yang tak
terpisahkan dari gejala krisis moral yang tengah melanda remaja kita secara
umum.
Mengapa Kelompok Remaja Rentan dengan
Tawuran ?
Masa remaja yang
identik dengan pelajar adalah suatu masa transisi dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa. Dimana remaja merasa bukan kanak – kanak lagi, tetapi mereka belum
mampu mengemban tugas sebagai orang dewasa. Karena itu, remaja berada di antara
suasana ketergantungan ( dependency ) dan ketidaktergantungan ( interdependency
) sehingga tingkah lakunya cenderung labil serta tidak mampu menyesuaikan diri
secara sempurna terhadap lingkungannya.
Masa ini dikenal
sebagai masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan
melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan
kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa
dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam
ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya.
Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah
berbicara.
Pada fase ini, remaja
termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara
kolektif ( group deviation ). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang sangat
kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku.
Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan
atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut
dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya.
Disinilah letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang
dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.
Dampak Tawuran Pelajar
Pelajar merupakan
aset yang sangat penting dalam kelanjutan kehidupan suatu suatu bangsa di masa
akan datang. Fenomena maraknya tawuran pelajar tentunya sangat memprihatinkan
kita. Betapa tidak, generasi yang menjadi tumpuan harapan untuk membawa bangsa
kepada masa depan yang lebih baik, justru jauh dari harapan tersebut. Apabila
permasalahan ini tidak tertanggulangi dengan baik maka dapat dipastikan akan
membawa dampak buruk bagi masa depan bangsa nantinya. Para pakar sosial pun
menyebutkan beberapa tanda dari perilaku yang menunjukkan arah kehancuran suatu
bangsa antara lain meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, pengaruh kelompok
sebaya terhadap tindak kekerasan dan semakin kaburnya pedoman moral. Tentu saja
hal ini harus membuat kita prihatin dan berupaya mencari solusi yang efektif.
Upaya Mengantisipasi Tawuran
Upaya antisipatif
terhadap tawuran pelajar mutlak dilakukan. Upaya antisipasi adalah usaha –
usaha sadar berupa sikap, perilaku atau tindakan seseorang melalui langkah –
langkah tertentu untuk menghadapi peristiwa yang mungkin terjadi. Jadi, sebelum
tawuran terjadi atau akan terjadi seseorang telah siap dengan berbagai
“perisai” untuk menghadapinya. Solusi antisipatif sangat penting untuk
dilakukan dibandingkan hanya sekedar melakukan solusi – solusi yang sifatnya
reaktif.
Secara
umum, menurut Arief Herdiyanto, upaya mengantisipasi penyimpangan sosial,
termasuk tawuran pelajar, dapat dilakukan melalui tiga langkah sebagai berikut. Pertama; Penanaman nilai dan
norma yang kuat pada setiap individu. Apabila hal ini berhasil dilakukan pada
seseorang individu secara ideal, niscaya tindak penyimpangan tidak akan
dilakukan oleh individu tersebut.
Kedua; Pelaksanaan peraturan
yang konsisten. Pada hakikatnya segala bentuk peraturan yang dikeluarkan adalah
usaha mencegah adanya tindak penyimpangan. Namun, apabila peraturan – peraturan
yang dikeluarkan tidak konsisten justru akan menimbulkan tindak penyimpangan.
Ketiga; Menciptakan
kepribadian yang kuat dan teguh. Menurut Theodore M. Newcomb, kepribadian
adalah kebiasaan, sikap-sikap dan lain-lain, sifat yang khas yang dimiliki
seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain.
Seseorang disebut berkepribadian apabila seseorang tersebut siap memberi jawaban
positif dan tanggapan positif atas suatu keadaan. Apabila seseorang
berkepribadian teguh ia akan mempunyai sikap yang melatarbelakangi tindakannya.
Dengan demikian ia akan mempunyai pola pikir, pola perilaku dan pola interaksi
yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakatnya.
Idealnya ketiga
langkah antisipatif tersebut di atas mestinya teraplikasikan pada seluruh
lingkungan kehidupan dan pranata sosial. Paling tidak, teraplikasikan pada tiga
institusi utama, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Tetapi, kadang
disinilah letak persoalannya, yaitu manakala lingkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat cenderung tidak optimal dalam proses pembinaan kepribadian remaja
kita.
Di sisi lain ,
walaupun sebenarnya telah begitu banyak upaya yang dilakukan oleh berbagai
kalangan, baik dari kalangan pendidikan, kalangan pelajar, organisasi
masyarakat, maupun LSM untuk menanggulangi masalah tawuran ini secara formal.
Namun, upaya – upaya tersebut nampaknya belum membawa hasil yang besar, baik
dilihat dari perubahan frekuensi tawuran maupun dari akar masalahnya secara
umum, yakni menyelesaikan krisis moral yang tengah melanda para remaja. Boleh
jadi karena mereka belum menemukan metode pembinaan yang tepat dan sesuai
dengan kondisi kepribadian remaja. Oleh karena itu, diperlukan sebuah metode
baru dalam hal pembinaan moral remaja di Indonesia.
Persoalannya
sekarang, siapakah yang harus memikul amanah tanggung jawab pembinaan
kepribadian remaja tersebut. Bisakah diserahkan sepenuhnya kepada lingkungan
rumah atau pihak sekolah saja. Mungkin saja bisa, akan tetapi melihat kondisi
umum remaja saat ini, nampaknya kita tidak dapat menyerahkan sepenuhnya
tanggung jawab tersebut hanya pada pihak – pihak tertentu saja. Tentunya kita
tidak dapat menyalahkan siapa – siapa. Setiap kita haruslah punya kepedulian
dan mampu memberi kontribusi, sekecil apa pun itu, sesuai dengan kewenangan dan
kesanggupan masing – masing.
Mentoring Agama Islam sebagai Solusi
Mentoring agama Islam
atau juga dikenal juga dengan Dakwah Sistem Langsung adalah merupakan sebuah
metode pembinaan keislaman pada remaja dengan pendekatan teman sebaya dalam
bentuk kelompok yang terdiri dari sepuluh sampai lima belas orang siswa. Kegiatan
mentoring agama Islam sangat cocok diterapkan pada kalangan remaja. Penelitian
Malik (2002) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang melatarbelakangi
terjadinya tawuran pelajar adalah krisis moral yang tengah melanda remaja.
Padahal moral aadalah modal yang paling penting sebagai tameng bagi seseorang
untuk menjalani kehidupannya. Sehingga, pencegahan tawuran dapat dilakukan
secara efektif dengan memberikan pendidikan moral kepada pelajar melalui
pembinaan agama melalui metode yang tepat.
Mengapa kita mengarahkan
solusi kepada perbaikan moral ? karena hanya dengan moral yang baik, seseorang
tetap akan berperilaku baik secara konsisten, meskipun tanpa kehadiran
pengawas, guru atau orang lain di sekitarnya. Maka dengan pendidikan moral
secara intensif merupakan suatu upaya yang efektif untuk mendidik para pelajar
secara sadar dan konsisten mau menghindari tawuran.
Hal lain mengapa
mentoring cocok diterapakan di kalangan pelajar adalah pada aspek pendekatan
yang digunakan sangat memperhatikan karakter remaja, yakni dengan pola teman
sebaya dalam pembinaannya. Hubungan mentor dengan peserta mentoring layaknya
teman sebaya ( friendly ) membuat mentor dapat berhubungan dengan intensif dan
melakukan cara – cara informal untuk mengatasi tindakan meyimpang dari peserta
mentoring. Selanjutnya apabila telah terbentuk ikatan emosional yang kuat
antara mentor-peserta mentoring dan sesama peserta mentoring maka akan
terbentuk kelompok sebaya bernuansa religius yang kokoh. Dengan memahami
kecendrungan remaja untuk lebih dekat dengan kelompok sebaya dibandingkan
dengan lingkungan sosial lainnya, maka perbaikan moral dan pembentukan perilaku
remaja dapat dilakukan secara efektif melalui kelompok mentoring yang religius
ini.
Semoga bermanfaat
Mohon Komentarnya